Judul : PMK Awasi Aturan Yang Buka Celah Intoleransi Di Sekolah
link : PMK Awasi Aturan Yang Buka Celah Intoleransi Di Sekolah
PMK Awasi Aturan Yang Buka Celah Intoleransi Di Sekolah
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menjamin bakal memastikan peraturan di lingkungan pendidikan bebas dari praktik intoleransi.
Pernyataan itu menyusul kasus yang baru-baru ini ditemukan terkait aturan di SMK Negeri 2 Padang yang mewajibkan siswi memakai jilbab, termasuk untuk non-muslim.
Deputi Pendidikan dan Agama Kemenko PMK, Agus Sartono menjelaskan toleransi terhadap agama di lingkungan pendidikan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Mengutip Pasal 4 ayat 1 undang-undang tersebut, telah ditegaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Karena itu lanjut Agus, pelbagai kebijakan mulai dari tingkat peraturan daerah hingga di level sekolah harus selaras dengan poin dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tersebut.
"Jadi dari segi aturan sangat jelas. Dan meskipun UU No. 23 Tahun 2014 [tentang Pemerintah Daerah] mengatur kewenangan terkait pendidikan, bukan berarti gubernur, bupati/walikota bebas membuat perda [peraturan daerah] yang bertentangan dengan perundangan yang lebih tinggi," terang Agus kepada CNNIndonesia.com, Senin (1/2).
"Kemenko PMK akan terus berkoordinasi dengan Kemendagri untuk memastikan agar perda yang terkait dengan pendidikan tidak bertentangan dengan perundangan yang lebih tinggi tersebut," lanjut dia.
Agus sendiri mengakui masalah intoleransi masih sering muncul di lingkungan pendidikan. Untuk itu selain memastikan aturan tak diskriminatif, ia menilai pemerintah dan pihak sekolah harus mulai menerapkan moderasi agama.
Salah satu caranya dengan memastikan guru memiliki pemikiran yang terbuka dan empati. Sehingga, kata dia, pendidik dapat menanamkan bibit toleransi dan rasa saling menghormati perbedaan.
Pernyataan itu diutarakan Agus menyusul kasus di SMK Negeri 2 Padang. Kebijakan sekolah tersebut diduga meminta siswi yang non-muslim untuk memakai jilbab.
Aturan itu diduga bermula dari instruksi wali kota Padang yang mewajibkan seluruh siswa Islam mengenakan pakaian muslim. Sementara siswa non-muslim diminta menyesuaikan dengan baju kurung atau celana panjang.
Menurut catatan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Instruksi Wali Kota Padang No 451.442/BINSOS-iii/2005 yang diterbitkan pada 7 Maret 2005 itu kerap disalahpahami sekolah yang mengira aturan berlaku untuk semua siswa, termasuk muslim dan non-muslim.
|
Namun begitu secara terpisah, Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Sumatera Barat Sultanul Arifin mengungkapkan belum bisa memastikan asal mula praktik intoleransi di lingkungan sekolah tersebut. Sebab dia mengaku tidak menemukan dokumen asli instruksi wali kota Padang yang dimaksud.
"Tapi intinya semua peraturan sekolah harus berperspektif HAM dan harus diubah bila terdapat aturan-aturan yang bertentangan dengan HAM," tutur Sultanul kepada CNNIndonesia.com.
Sultanul pun mengatakan tim Komnas HAM Sumatera Barat telah bertemu dengan perwakilan Dinas Pendidikan Sumbar, Ombudsman Sumbar, persatuan pendeta hingga perwakilan dewan pendidikan untuk membahas kasus di SMK Negeri 2 Padang.
Dinas Pendidikan, lanjut Sultanul, menjanjikan bakal mengevaluasi aturan di lingkungan pendidikan paling lambat hingga 2 Februari 2021. Adapun Komnas HAM memastikan bakal melakukan pendampingan terhadap seluruh kepala sekolah dan guru di Sumbar.
"Evaluasi menyeluruh. Perlu diperiksa seluruh sekolah negeri di Sumbar. Kedua, revisi aturan sekolah tidak hanya untuk SMK 2, tapi juga untuk seluruh SMA/SMK di Sumbar dan bentuknya sesuai dengan tata naskah dinas peraturan," tambah dia lagi.
Mengutip data Wahid Foundation, tercatat 42 persen tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan sepanjang 2019 dilakukan oleh aktor negara yang didominasi oleh pemerintah daerah (kabupaten/kota) dan kepolisian.
Pelanggaran oleh pemerintah kabupaten/kota umumnya seperti pelarangan aktivitas dengan dalih agama tertentu, pembiaran, pemaksaan pentaatan agama, hingga diskriminasi berdasarkan agama.
Wahid Foundation menilai pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan bisa terjadi karena dipicu aturan di level perundang-undangan, seperti UU PNPS No. 1 Tahun 1965 tentang Penodaan Agama dan Pasal 156a KUHP yang mengatur delik penodaan agama.
Demikianlah Artikel PMK Awasi Aturan Yang Buka Celah Intoleransi Di Sekolah
Anda sekarang membaca artikel PMK Awasi Aturan Yang Buka Celah Intoleransi Di Sekolah dengan alamat link https://re-plye2021-1.blogspot.com/2021/01/pmk-awasi-aturan-yang-buka-celah.html
Posting Komentar
Posting Komentar